12 February 2009

Pemekaran Dogiyai Untuk Siapa?

Oleh : Frans Ign Bobii

KabarIndonesia - Di kala pemekaran Kabupaten Dogiyai datang dari sebuah pergulatan yang tidak sehat, di mana saat itu berkembang berbagai fenomena antara kelompok pro dan kelompok kontra. Kita toleh kembali bahwa kelompok propemekaran memiliki iktikad untuk memberdayakan masyarakat lokal melalui pemekaran. Sedangkan kelompok kontra memiliki berbagai pengalaman akibat pemekaran dan perlakuan pemerintah indonesia terhadap kehidupan masyarakat.

Sudah beberapa bulan lalu Kabupaten Dogiyai telah dimekarkan, seiring dengan pemekaran itu Adauktus Takerubun menjadi pejabat Bupati untuk mempersiapkan perangkat daerah menuju kabupaten devinitif. Tugas penjabat bupati memiliki tiga tugas pokok yakni, mempersiapkan birokrasi kelembagaan, membentuk KPUD dan mempersiapkan infrastrukturnya.


Dalam ikthisar membangun tiga tugas pokok itu memiliki keunikan dimana dalam sepak terjangnya terlihat ada keunikan yang berimbas pada munculnya kesenjangan sosial di kalangan masyarakat itu sendiri. Kesenjangan sosial mulai terlihat ketika penempatan personil (kabinet). Karakter itu lebih mengutamakan kelompok yang bukan sasaran pemekaran. Mestinya dipahami, bahwa sasaran pemekaran adalah untuk memberdayakan potensi lokal dan hal itu merupakan amanat UU Nomor 21/2001.

Upaya membangun Dogiyai yang digalang bersama kabinetnya sedang menanamkan benih-benih disentrisasi dalam pelayanan. Mesti dipaham bahwa untuk membangun mesti membutuhkan waktu dan tenaga dan memang hal itu wajar membangun tidak semuda seperti membalikkan telapak tangan. Walaupun demikian menjadi sorotan adalah soal cara meletakkan dasar pembangunan untuk lima sepuluh tahun ke depan. Dogiyai akan tinggal bersama rakyat di sana, organisasi pemerintah bukan organisasi temporer yang hanya dilahirkan untuk sesaat akan tetapi Dogiyai dimekarkan untuk kepentingan pembangunan manusia seutuhnya menuju suatu perubahan agar bisa bersaing dengan manusia lain di Papua.

Mari kita berbalik kebelakang terkait dengan perkembangan pembangunan di Papua, khususnya di Nabire. Dogiyai hadir untuk membangun dan memperbaiki pola hidup sambil mengangkat potensi lokal terutama manusianya, SDA dan berbagai aspek lainnya, setelah wilayah itu dianggap tertinggal ketika berada diwilayah pemerintahan Nabire.

Maju mundurnya Dogiyai ada di tangan rakyat bukan di tangan kelompok birokrasi yang menurut pemerintah Dogiyai dipandang sebagai Obyek pembangunan.

“Pada kesempatan rapat bersama dengan eselon II, III, dan IV yang dipimpin langsung pejabat Bupati terkesan mencecerkan sejumlah persoalan yang nantinya menjadi utopia dalam pembangunan ke depan. Semisalnya pernyataan bupati yang mengatakan pemerintah bertangungjawab kepada gubernur bukan kepada masyarakat ataupun kelompok tertentu yang dibentuk untuk kepentingan sesaat.

Pernyataan ini menggambarkan adanya sikap dan kepemimpinan otoriter dalam menakodai Dogiyai menuju kemandirian. Pernyataan lain yang dilontar pejabat bupati bahwa yang akan menjadi honorer di lingkungan Dogiyai adalah mereka yang memiliki profesi (ketrampilan).

Menyimak sejumlah pernyataan itu tatkala telah menyindir pola hidup manusia pedalaman. Sebab Dogiyai dimekarkan bukan untuk orang-orang pintar akan tetapi justru mau mengangkat harkat dan martabat manusia yang terlantar, terbelakang yang selalu dilakoni dengan tidak mampu. Lantas apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Dogiyai dalam memberdayakan manusia lokal di sana? pakah pemerintah hadir untuk mereka yang pintar, mampu dan memiliki kemampuan dan bagaimana dengan mereka yang terlena dalam keterpurukan hidup?

Pemekaran buat Orang Pintar
Tujuan pemekaran untuk memperpendek rentang kendali pemerintah, ini semua kalimat yang selalu dipakai untuk menguasai kelompok marginal di Tanah Papua. Sebab kenyatan pemekaran hadir dengan dalil memperdayakan manusia lokal melalui pemekaran namun kenyataan adalah justru orang lokal menjadi penonton setia di tanah perdikan.

Pemekaran Dogiyai dan beberapa daerah di Papua terkesan sedang menyangkal identitas, sebab seharusnya manusia lokal diperdayakan dalam kanca birokrasi ataupun pemberdayaan lain. Apalagi aspek lain, ekonomi, kesehatan berimbas terciptakan kecemburuan sosial yang nantinya akan menjadi bumeran dalam membangun sebuah daerah otonom sepanjangan lembaga pemerintah berjalan membangun. Siapa yang bertanggungjawab kalau sebuah daerah terlantar karena perlakuan pemimpin yang menganggap rakyat sebagai musuh, mesti rakyat diposisikan sebagai pengontrol jalannya roda pemerintah. (*)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan anda. Silahkan berikan tanggapan/saran/sanggahan/motivasi atau apapun yang berkaitan dengan postingan diatas. Mohon maaf, Apabila mengandung Komentar yang bersifat:
1. Pornografi.
2. Rasisme.
3. SPAM.
4. atau Apapun yang menyinggung orang/pihak lain maka komentarnya akan dihapus. Terimakasih