26 January 2013

Sebuah Sayatan di Hati

tataplah hari depan dengan segala harapan
Dulu, waktu sa masih kecil. suasana di kampung aman skali. Da pu masyarakat paling ramah, kalau ada yang mau pindahkan rumah atau ada yang punya pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan sendiri tu dong saling bantu. Pokoknya paling rukun sudah. Ditambah lagi dengan da pu tatanan budaya teratur rapi. Anak-anak muda paling patuh terhadap orang tua di kampung, apalgi kepada kepala adat (kepala desa) itu dong paling hormati skali. Kalau kepala desa suruh kerja, dong smua rame-rame turun kerja. Diiringi dengan nyanyian adat “Yu Waita”. Nyanyian ini seakan membakar semangat para pekerja untuk menyelesaikan tugas mereka. Sebesar apapun dong pu tugas. Kalo dong su waita tu, tra lama lagi pekerjaan itu akan selesai. 
Sungguh, suasana yang aman dan tentram. Pagi kalo matahari terbit tu,  da pu awan susun rapi di kaki  gunung seakan seperti tentara dong baris baru kasih selamat pagi buat anak-anak sekolah yang dari dari pelosok dusun. Melewati kabut awan yang menutupi sepanjang dong pu perjalanan. Sa ingat skali, kalo pagi tu da pu dingin macam bikin tong tra kuat jalan. Kaki keram. Tapi bagi anak sekolah, itu merupakan hal yang biasa. Saat pagi sperti itu da pu gunung tu terlihat cerah skali. Trada awan yang tutup karena da pu awan su turun tuk memberikan salam bagi warga situ. Terdengar suara kecil-kecil  di bawah kaki gunung yang awalnya satu suara. Lama-lama menjadi dua suara dan menjadi sekelompok suara yang serentak dong menyanyikan. Ternyata itu adalah “yu waita” yang dinyanyikan oleh sekelompok anak kecil yang sedang pergi ke sekolah tuk menimbah ilmu. Melewati  gumpalan-gumpalan awan yang menutupi sepanjang perjalanan itu. Ternyata lagu itu  merupakan penyemangat mereka. Lagu itu juga memberikan isyarat kepada teman-teman seumuran yang laen untuk segera bersiap dan bersama tuk menuju tempat dimana dong menimbah ilmu.
Suasana saat itu kental dengan budaya, ada sa pu teman-teman yang pake koteka ke sekolah. Waktu SD kelas satu, dua. Itu bukan merupakan suatu yang baru bagi tong anak pribumi karena memang hal itu sudah biasa dan itu memang tong pu budaya. Tapi sayang, hal itu lama-kelamaan mulai hilang. Sejalan dengan datangnya banyak guru-guru dan pedagang dari luar. Dong wajibkan kepada anak sekolah tuk berpakian sekolah. Padahal, itu adalah tong warga pribumi pu pakean. Dong bilang itu tra boleh karena kurang bagus tuk dilihat. Ditambah lagi dengan masuknya jalan raya dari kota besar yang melewati sa pu kampung. Seakan membuat semua yang jauh menjadi dekat. Dulu Nabire tu tong rasa paling jauh, tapi sekarang hanya berapa jam saja su sampe lewat jalan darat. Banyak barang-barang baru masuk dari luar. Membuat warga setempat tergoda dan bernafsu untuk memiliki barang tersebut. Tidak terasa, perlahan tong pu tatanan budaya yang tersusun rapi tu mulai hancur. Anak-anak mudah su mulai gabung dengan orang luar. Anak-anak itu terhanyut dengan iming-iming yang dong kasih.  Dampaknya, apapun yang orang tua dong kasih tau tu anak mudah su tra mau ikut. Dong su rasakan sesuatu yang lebih enak, disana dong dapat imbalan “mege” (uang) dengan gampang. Dong kerja sedikit su dapat uang. Sapa juga yang tra mau kalau seperti itu. Pekerjaan yang dulu dong biasa kerja secara sukarela itu mulai berubah.
Orang tua dong suruh kerja bakti, anak muda dong bilang “mana uang”. Seakan uang itu menjadi tuan mereka. Dong melawan ke orang tua, baru dong bilang “kam mau bayar pake uang apa..? bikin rugi kita pu tenaga saja”. Banyak anak muda menjadi kurir bagi orang pendatang di sa pu tempat. Banyak juga yang lupa tuk pergi ke sekolah. Bagi mereka, yang penting su ada uang tu su cukup. Untuk apa pergi ke sekolah tiap pagi tabrak awan dan angin. Bikin rugi saja, lebih baik kerja sdikit tapi dapat mege. Itu sudah lebih dari cukup. Lama- lama, itu menjadi kebiasaan yang susah dirubah. Sampai-sampai, dong mau jual dong pu tanah. Bagaimana tidak, iming-iming yang dong kasih juga menggiurkan. Dong tra sadar, kalau hidup itu tidak hanya sekarang saja. kam pu anak mau taruh dimana..?. pedagang su mulai menempati tanah yang dong su beli tadi, di sana dong jual barang-barang lebih mahal 2 kali lipat. (Bersambung…)



2 comments:

  1. Itu suda sobat, dan sepertinya akan terus seperti itu. Karena kitong suda tau to, kehidupan tu dinamis, tidak statis. Begitu juga deng tatanan kehiduban, kebudayaan dll.

    Paling tidak, ada dua hal yg buat semua berubah, pertama, manusia tu akan bosan dengan keadaan yg itu-itu saja. Kedua karena pengaruh infiltrasi kebudayan yg dari luat. begitu kira-kira yg sa pelajari.

    Sekarang, yg perlu kita pikir tu, membangun sistem filter, agar kita bisa tapis semua 'barang' yg datang dari luar. Yg baik kita ambil, tuk pake membangun kitong pu peradaban, yg tra baik katorang buang.

    O, io, tulisannya bagus sekali. Ditulis dengan logat Papua yg khas, mengalir dan lancanr. Anak gaul papua sekarang bialng, "Sirbe."

    ditunggu sambungan berikutnya. Salam.

    ReplyDelete
  2. sip, terimakasih sobat. mungkin minggu depan baru ada lanjutannya.

    sa pikir juga begitu sobat, pengaruh dari luar su masuk.sekarang yang kita pikirkan itu mengurangi pengaruh dengan sistem filter. sa pikir, perlu ada wadah buat orang tua dorang yang masih mempertahankan agar diberikan ruang untuk mengekspresikan diri. sekalian menjaga eksistensi budaya.

    ReplyDelete

Terimakasih atas kunjungan anda. Silahkan berikan tanggapan/saran/sanggahan/motivasi atau apapun yang berkaitan dengan postingan diatas. Mohon maaf, Apabila mengandung Komentar yang bersifat:
1. Pornografi.
2. Rasisme.
3. SPAM.
4. atau Apapun yang menyinggung orang/pihak lain maka komentarnya akan dihapus. Terimakasih