tataplah hari depan dengan segala harapan |
Dulu, waktu sa
masih kecil. suasana di kampung aman skali. Da pu masyarakat paling ramah,
kalau ada yang mau pindahkan rumah atau ada yang punya pekerjaan yang tidak
bisa dikerjakan sendiri tu dong saling bantu. Pokoknya paling rukun
sudah. Ditambah lagi dengan da pu tatanan budaya teratur rapi. Anak-anak muda
paling patuh terhadap orang tua di kampung, apalgi kepada kepala adat (kepala
desa) itu dong paling hormati skali. Kalau kepala desa suruh kerja, dong smua
rame-rame turun kerja. Diiringi dengan nyanyian adat “Yu Waita”. Nyanyian ini
seakan membakar semangat para pekerja untuk menyelesaikan tugas mereka. Sebesar
apapun dong pu tugas. Kalo dong su waita tu, tra lama lagi pekerjaan itu akan
selesai.
Sungguh, suasana
yang aman dan tentram. Pagi kalo matahari terbit tu, da pu awan susun rapi di kaki gunung seakan seperti tentara dong baris baru
kasih selamat pagi buat anak-anak sekolah yang dari dari pelosok dusun. Melewati
kabut awan yang menutupi sepanjang dong pu perjalanan. Sa ingat skali, kalo
pagi tu da pu dingin macam bikin tong tra kuat jalan. Kaki keram. Tapi bagi
anak sekolah, itu merupakan hal yang biasa. Saat pagi sperti itu da pu gunung tu
terlihat cerah skali. Trada awan yang tutup karena da pu awan su turun tuk
memberikan salam bagi warga situ. Terdengar suara kecil-kecil di bawah kaki gunung yang awalnya satu suara.
Lama-lama menjadi dua suara dan menjadi sekelompok suara yang serentak dong menyanyikan.
Ternyata itu adalah “yu waita” yang dinyanyikan oleh sekelompok anak kecil yang
sedang pergi ke sekolah tuk menimbah ilmu. Melewati gumpalan-gumpalan awan yang menutupi sepanjang
perjalanan itu. Ternyata lagu itu merupakan penyemangat mereka. Lagu itu juga
memberikan isyarat kepada teman-teman seumuran yang laen untuk segera bersiap dan
bersama tuk menuju tempat dimana dong menimbah ilmu.
Suasana saat itu
kental dengan budaya, ada sa pu teman-teman yang pake koteka ke sekolah. Waktu SD
kelas satu, dua. Itu bukan merupakan suatu yang baru bagi tong anak pribumi
karena memang hal itu sudah biasa dan itu memang tong pu budaya. Tapi sayang,
hal itu lama-kelamaan mulai hilang. Sejalan dengan datangnya banyak guru-guru
dan pedagang dari luar. Dong wajibkan kepada anak sekolah tuk berpakian
sekolah. Padahal, itu adalah tong warga pribumi pu pakean. Dong bilang itu tra
boleh karena kurang bagus tuk dilihat. Ditambah lagi dengan masuknya jalan raya
dari kota besar yang melewati sa pu kampung. Seakan membuat semua yang jauh
menjadi dekat. Dulu Nabire tu tong rasa paling jauh, tapi sekarang hanya berapa
jam saja su sampe lewat jalan darat. Banyak barang-barang baru masuk dari luar.
Membuat warga setempat tergoda dan bernafsu untuk memiliki barang tersebut. Tidak
terasa, perlahan tong pu tatanan budaya yang tersusun rapi tu mulai hancur. Anak-anak
mudah su mulai gabung dengan orang luar. Anak-anak itu terhanyut dengan
iming-iming yang dong kasih. Dampaknya, apapun
yang orang tua dong kasih tau tu anak mudah su tra mau ikut. Dong su rasakan
sesuatu yang lebih enak, disana dong dapat imbalan “mege” (uang) dengan gampang.
Dong kerja sedikit su dapat uang. Sapa juga yang tra mau kalau seperti itu. Pekerjaan
yang dulu dong biasa kerja secara sukarela itu mulai berubah.
Orang tua dong
suruh kerja bakti, anak muda dong bilang “mana uang”. Seakan uang itu menjadi
tuan mereka. Dong melawan ke orang tua, baru dong bilang “kam mau bayar pake
uang apa..? bikin rugi kita pu tenaga saja”. Banyak anak muda menjadi kurir
bagi orang pendatang di sa pu tempat. Banyak juga yang lupa tuk pergi ke
sekolah. Bagi mereka, yang penting su ada uang tu su cukup. Untuk apa pergi ke
sekolah tiap pagi tabrak awan dan angin. Bikin rugi saja, lebih baik kerja
sdikit tapi dapat mege. Itu sudah lebih dari cukup. Lama- lama, itu menjadi
kebiasaan yang susah dirubah. Sampai-sampai, dong mau jual dong pu tanah. Bagaimana
tidak, iming-iming yang dong kasih juga menggiurkan. Dong tra sadar, kalau
hidup itu tidak hanya sekarang saja. kam pu anak mau taruh dimana..?. pedagang
su mulai menempati tanah yang dong su beli tadi, di sana dong jual
barang-barang lebih mahal 2 kali lipat. (Bersambung…)
Itu suda sobat, dan sepertinya akan terus seperti itu. Karena kitong suda tau to, kehidupan tu dinamis, tidak statis. Begitu juga deng tatanan kehiduban, kebudayaan dll.
ReplyDeletePaling tidak, ada dua hal yg buat semua berubah, pertama, manusia tu akan bosan dengan keadaan yg itu-itu saja. Kedua karena pengaruh infiltrasi kebudayan yg dari luat. begitu kira-kira yg sa pelajari.
Sekarang, yg perlu kita pikir tu, membangun sistem filter, agar kita bisa tapis semua 'barang' yg datang dari luar. Yg baik kita ambil, tuk pake membangun kitong pu peradaban, yg tra baik katorang buang.
O, io, tulisannya bagus sekali. Ditulis dengan logat Papua yg khas, mengalir dan lancanr. Anak gaul papua sekarang bialng, "Sirbe."
ditunggu sambungan berikutnya. Salam.
sip, terimakasih sobat. mungkin minggu depan baru ada lanjutannya.
ReplyDeletesa pikir juga begitu sobat, pengaruh dari luar su masuk.sekarang yang kita pikirkan itu mengurangi pengaruh dengan sistem filter. sa pikir, perlu ada wadah buat orang tua dorang yang masih mempertahankan agar diberikan ruang untuk mengekspresikan diri. sekalian menjaga eksistensi budaya.